Presiden Joko Widodo pada 25 April 2016 meminta Menkopolhukam Luhut Pandjaitan untuk mencari lokasi-lokasi yang menjadi kuburan korban pembunuhan massal 1965-1966. Perintah tersebut muncul setelah pelaksanaan Simposium Tragedi 1965 pada 18-19 April 2016 di Jakarta.
Sejak adanya permintaan Presiden tersebut, isu munculnya paham komunis ingin bangkit dan melebar juga desakan agar kuburan massa itu dibongkar.Keberadaan kuburan korban pembunuhan massal tersebut dibutuhkan sebagai pembuktian sejarah terkait pembantaian warga negara diduga pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
Human Right Watch (HRW) mengungkapkan pembongkaran kuburan massal 1965-1966 harus melibatkan ahli forensik yang independen untuk menjamin kelengkapan barang bukti dan akurasi identifikasi korban.
"Karena merupakan lokasi kejahatan, maka kuburan massal harus diperlakukan seperti layaknya lokasi kejahatan, yaitu melibatkan ahli forensik untuk mengetahui bagaimana korban tewas," kata peneliti senior Divisi Asia HRW, Andreas Harsono, di Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Pelibatan ahli forensik bertujuan agar pembongkaran mendapatkan informasi yang kaya. Pemerintah sendiri saat ini masih mencari dua sampel kuburan di Pati dan Wonosobo, Jawa Tengah.
"Apabila hanya sekadar digali dan tidak profesional menyebabkan tidak mendapat informasi yang kaya. Juga bisa menyebabkan hilangnya barang-barang berharga yang turut terkubur, seperti misalnya cincin kawin yang memuat identitas pasangan dan benda logam lain yang tidak terurai dalam tanah," kata Andreas.
Untuk jangka panjang, setelah sampling dua kuburan dilakukan, HRW merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk membentuk sebuah Komisi Kepresidenan yang meneliti kuburan-kuburan massal.
"Kuburan yang diteliti bukan hanya terkait peristiwa 1965-1966, namun juga diduga lokasi kuburan lain seperti di Papua, Sambas, dan Sampit," kata Andreas.
Sholawat Badar Tandingi Hegemoni Genjer-Genjer di Era Keemasan PKI
Setelah hampir setengah abad, Indonesia berhasil bersih dan jauh dari unsur 'kekiri-kirian' atau komunisme yang dahulu diperankan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, pemerintahan kala itu mengadopsi ideologi kebangsaan yang dikenal dengan istilah Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis).
Jauh sebelum tragedi 65, yang disimbolkan melalui aksi kebiadaban yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September atau G 30 S PKI. Partai berlogo 'palu arit' ini sesungguhnya adalah partai dengan kekuatan politik yang amat besar. Baik memiliki pengaruh yang kuat di jajaran pemerintahan, hubungan luar negeri, termasuk di kalangan bawah atau masyarakat.
Ketidakpercayaan PKI akan adanya tuhan jelas berseberangan dengan kelompok agama yang pada saat itu diorganisir oleh Nahdlatul Ulama (NU). Perbedaan paham antar keduanya lantas kerap berakhir benturan fisik bahkan tak jarang menelan korban jiwa.
Secara kebetulan pula bahwa kekuatan yang sanggup menyaingi PKI kala itu ialah kelompok agama, atau 'hijau', yang diwakili oleh NU. Mengingat beberapa partai maupun ormas berbasis Islam kala itu banyak yang dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Semisal Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), ormas yang kemudian menjadi partai ini dibubarkan lantaran tokoh-tokohnya disebut-sebut terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Benturan antara kader hingga simpatisan NU dan PKI di tingkat bawah pun mewarnai iklim berpolitik bangsa ini kala itu. PKI kerap menyerang para kyai, pondok pesantren, dan merebut tanah-tanah wakaf yang dimaksudkan digunakan untuk keperluan dakwah.
Seperti yang disampaikan oleh tokoh senior NU yang kala itu masuk dalam kepengurusan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) KH. Baidowi Adnan mengatakan, PKI melalui aksi sepihak (Aksep) kerap merugikan kelompok agama, khususnya muslim.
"PKI kadang melalui organisasi-organisasinya seperti (CGMI) Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI Barisan Tani Indonesia) kerap menyerang bahkan memfitnah umat Islam di daerah. Bahkan di Sumatera Barat sejumlah keluarga muslim diracun oleh kelompok buatan PKI," ucapnya menerangkan kepada Jitunews.com, Jumat (27/5).
Aparat berwenang seperti kepolisian dan TNI pun tak bisa berbuat banyak kala pembantaian yang dilakukan PKI terhadap para kyai dan pengrusakan brutal di berbagai tanah wakaf atau pun pondok pesantren. Hal itu terjadi karena, PKI kala itu kuat secara politik dan dekat sekali dengan penguasa.
PKI sepanjang tahun 1965 pun makin beringas. Tak hanya melakukan aksi propaganda yang menyudutkan umat muslim, mereka pun tak segan untuk membunuh. Mengingat saat itu, doktrinasi kalangan PKI telah amat benci kepada kelompk beragama, khususnya muslim dan terutama para kyai dan pemilik pondok pesantren.
Salah satu insiden terkejam dan paling berdarah yang disutradarai PKI terjadi di Banyuwangi. Kabupaten terujung dari pulau Jawa itu diselimuti ketakutan dengan bukti tewasnya ribuan nyawa tak bersalah. Tapi pada hakikatnya terdapat dua insiden yang tercatat dalam sejarah nasional akan tragedi 1965, yaitu peristiwa peracunan 93 orang di Karangasem Gambiran dan pembantaian 63 orang di Cemetuk Cluring. Tak hanya itu, 156 jiwa anggota Banser melayang dalam perlawanan membendung Aksep PKI.
Selain soal kejahatan kemanusiaan, sejarah 1965 juga mencatat tentang lagu-lagu atau theme song yang mewarnai selama konflik PKI dan golongan muslim terjadi. Bahkan gubahan yang menjadi spirit dari keduanya hingga hari ini terus dikenang.
Jika PKI memiliki Lagu Genjer-Genjer karya Muhammad Arif yang menjadi nada ‘kebangsaan’ bagi nadi aktivis PKI dan badan otonomnya, kelompok hijau atau muslim yang diwakili oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan Sholawat Badar gubahan KH. Ali Mansyur sebagai lagu tandingan.
Kompetisi politik dan pengaruh kala itu menjadi milik PKI dan NU. Kedua kubu bersebrangan saling serang, saling kritik, hingga saling beradu fisik yang tak sekali menelan korban jiwa. Saat itu NU berdiri paling depan menyelamatkan NKRI dan Pancasila dari agenda pengkudetaan PKI terhadap pemerintahan Soekarno.
Muhammad Arif - Genjer-Genjer
Kembali ke soal seni dan lagu, sesungguhnya Muhammad Arif notabene adalah seniman sekaligus warga asli Banyuwangi. Muhammad Arif menciptakan Lagu Genjer-Genjer kala Jepang masih menduduki Indonesia atau di era 1940-an. Artinya Genjer-Genjer lahir sebagai ekspresi perlawanan melawan kolonialisme, atau 20 tahun sebelum lagu tersebut menasional di bawah bendera 'palu arit'.
Muhammad Arif mencoba menggambarkan masa-masa sulit rakyat Indonesia di bawah jajahan Jepang dengan menciptakan karya yang diberi judul Genjer-Genjer. Bukan sebuah rahasia bahwa dalam penguasaan Jepang kehidupan masyarakat menjadi serba sulit. Konon tiga setengah tahun Jepang jauh lebih rusak ketimbang 350 tahun penguasaan Belanda.
Sadar akan kesulitan itu, istri Muhammad Arif memanfaatkan genjer (sejenis gulma di sawah) sebagai masakan pelengkap nasi. Kondisi tersebutlah yang menjadi ilham Muhammad Arif hingga lahirlah Lagu Genjer-Genjer.
Awalnya lagu Genjer-Genjer tak lebih dari lagu lokal yang dibawakan oleh Muhammad Arif beserta grup kesenian angklungnya keliling dari satu kampung ke kampung lain. Namun semenjak dinyanyikan ulang oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet pada tahun 60-an dan diperdengarkan secara nasional, lagu Genjer-Genjer menjadi populer. Tak sekedar populer, lagu tersebut juga menjadi alat propaganda PKI. Lagu Genjer-Genjer pun seolah terstempel dan menjadi identitas lain dari PKI.
Saling mengisi dan saling memberi pemaknaan antara Genjer-Genjer dan PKI, berdampak pada lagu ciptaan Muhammad Arif itu. Setelah PKI berhasil ditumpas, dikalahkan, bahkan dihabisi di bawah instruksi Soeharto, Lagu Genjer-Genjer pun menjadi barang haram. Haram untuk dinyanyikan dan haram untuk diperdengarkan.
Masa represi Orde Baru begitu kuat mengikis segala bentuk yang berkaitan dengan PKI, termasuk dengan lagu-lagunya. Pada perkembangan selanjutnya, baru pada era reformasi lagu Genjer-Genjer dinyanyikan dan diperdegarkan kembali oleh beberapa seniman. Bahkan, band Dengeu Fever dari Los Angles Amerika Serikat menyanyikannya lagi dengan menggunakan bahasa Khmer Kamboja. Tentunya, diperdegarkannya lagu tersebut kembali juga disertai keterangan-keterangan historis yang meluruskan lagu tersebut. Lagu yang diciptakan sebagai bentuk keprihatinan akan masa sulit dikala pendudukan Jepang.
references by harianterbit, jitunews
Sejak adanya permintaan Presiden tersebut, isu munculnya paham komunis ingin bangkit dan melebar juga desakan agar kuburan massa itu dibongkar.Keberadaan kuburan korban pembunuhan massal tersebut dibutuhkan sebagai pembuktian sejarah terkait pembantaian warga negara diduga pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Karena merupakan lokasi kejahatan, maka kuburan massal harus diperlakukan seperti layaknya lokasi kejahatan, yaitu melibatkan ahli forensik untuk mengetahui bagaimana korban tewas," kata peneliti senior Divisi Asia HRW, Andreas Harsono, di Jakarta, Kamis (26/5/2016).
Pelibatan ahli forensik bertujuan agar pembongkaran mendapatkan informasi yang kaya. Pemerintah sendiri saat ini masih mencari dua sampel kuburan di Pati dan Wonosobo, Jawa Tengah.
"Apabila hanya sekadar digali dan tidak profesional menyebabkan tidak mendapat informasi yang kaya. Juga bisa menyebabkan hilangnya barang-barang berharga yang turut terkubur, seperti misalnya cincin kawin yang memuat identitas pasangan dan benda logam lain yang tidak terurai dalam tanah," kata Andreas.
Untuk jangka panjang, setelah sampling dua kuburan dilakukan, HRW merekomendasikan Presiden Joko Widodo untuk membentuk sebuah Komisi Kepresidenan yang meneliti kuburan-kuburan massal.
"Kuburan yang diteliti bukan hanya terkait peristiwa 1965-1966, namun juga diduga lokasi kuburan lain seperti di Papua, Sambas, dan Sampit," kata Andreas.
Sholawat Badar Tandingi Hegemoni Genjer-Genjer di Era Keemasan PKI
Setelah hampir setengah abad, Indonesia berhasil bersih dan jauh dari unsur 'kekiri-kirian' atau komunisme yang dahulu diperankan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab, pemerintahan kala itu mengadopsi ideologi kebangsaan yang dikenal dengan istilah Nasakom (Nasional, Agama, dan Komunis).
Jauh sebelum tragedi 65, yang disimbolkan melalui aksi kebiadaban yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September atau G 30 S PKI. Partai berlogo 'palu arit' ini sesungguhnya adalah partai dengan kekuatan politik yang amat besar. Baik memiliki pengaruh yang kuat di jajaran pemerintahan, hubungan luar negeri, termasuk di kalangan bawah atau masyarakat.
Ketidakpercayaan PKI akan adanya tuhan jelas berseberangan dengan kelompok agama yang pada saat itu diorganisir oleh Nahdlatul Ulama (NU). Perbedaan paham antar keduanya lantas kerap berakhir benturan fisik bahkan tak jarang menelan korban jiwa.
Secara kebetulan pula bahwa kekuatan yang sanggup menyaingi PKI kala itu ialah kelompok agama, atau 'hijau', yang diwakili oleh NU. Mengingat beberapa partai maupun ormas berbasis Islam kala itu banyak yang dibubarkan oleh pemerintahan Soekarno. Semisal Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), ormas yang kemudian menjadi partai ini dibubarkan lantaran tokoh-tokohnya disebut-sebut terlibat dalam gerakan pemberontakan dari dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).
Benturan antara kader hingga simpatisan NU dan PKI di tingkat bawah pun mewarnai iklim berpolitik bangsa ini kala itu. PKI kerap menyerang para kyai, pondok pesantren, dan merebut tanah-tanah wakaf yang dimaksudkan digunakan untuk keperluan dakwah.
Seperti yang disampaikan oleh tokoh senior NU yang kala itu masuk dalam kepengurusan Barisan Ansor Serbaguna Nahdlatul Ulama (Banser NU) KH. Baidowi Adnan mengatakan, PKI melalui aksi sepihak (Aksep) kerap merugikan kelompok agama, khususnya muslim.
"PKI kadang melalui organisasi-organisasinya seperti (CGMI) Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), BTI Barisan Tani Indonesia) kerap menyerang bahkan memfitnah umat Islam di daerah. Bahkan di Sumatera Barat sejumlah keluarga muslim diracun oleh kelompok buatan PKI," ucapnya menerangkan kepada Jitunews.com, Jumat (27/5).
Aparat berwenang seperti kepolisian dan TNI pun tak bisa berbuat banyak kala pembantaian yang dilakukan PKI terhadap para kyai dan pengrusakan brutal di berbagai tanah wakaf atau pun pondok pesantren. Hal itu terjadi karena, PKI kala itu kuat secara politik dan dekat sekali dengan penguasa.
PKI sepanjang tahun 1965 pun makin beringas. Tak hanya melakukan aksi propaganda yang menyudutkan umat muslim, mereka pun tak segan untuk membunuh. Mengingat saat itu, doktrinasi kalangan PKI telah amat benci kepada kelompk beragama, khususnya muslim dan terutama para kyai dan pemilik pondok pesantren.
Salah satu insiden terkejam dan paling berdarah yang disutradarai PKI terjadi di Banyuwangi. Kabupaten terujung dari pulau Jawa itu diselimuti ketakutan dengan bukti tewasnya ribuan nyawa tak bersalah. Tapi pada hakikatnya terdapat dua insiden yang tercatat dalam sejarah nasional akan tragedi 1965, yaitu peristiwa peracunan 93 orang di Karangasem Gambiran dan pembantaian 63 orang di Cemetuk Cluring. Tak hanya itu, 156 jiwa anggota Banser melayang dalam perlawanan membendung Aksep PKI.
Selain soal kejahatan kemanusiaan, sejarah 1965 juga mencatat tentang lagu-lagu atau theme song yang mewarnai selama konflik PKI dan golongan muslim terjadi. Bahkan gubahan yang menjadi spirit dari keduanya hingga hari ini terus dikenang.
Jika PKI memiliki Lagu Genjer-Genjer karya Muhammad Arif yang menjadi nada ‘kebangsaan’ bagi nadi aktivis PKI dan badan otonomnya, kelompok hijau atau muslim yang diwakili oleh warga Nahdlatul Ulama (NU) menjadikan Sholawat Badar gubahan KH. Ali Mansyur sebagai lagu tandingan.
Kompetisi politik dan pengaruh kala itu menjadi milik PKI dan NU. Kedua kubu bersebrangan saling serang, saling kritik, hingga saling beradu fisik yang tak sekali menelan korban jiwa. Saat itu NU berdiri paling depan menyelamatkan NKRI dan Pancasila dari agenda pengkudetaan PKI terhadap pemerintahan Soekarno.
Muhammad Arif - Genjer-Genjer
Kembali ke soal seni dan lagu, sesungguhnya Muhammad Arif notabene adalah seniman sekaligus warga asli Banyuwangi. Muhammad Arif menciptakan Lagu Genjer-Genjer kala Jepang masih menduduki Indonesia atau di era 1940-an. Artinya Genjer-Genjer lahir sebagai ekspresi perlawanan melawan kolonialisme, atau 20 tahun sebelum lagu tersebut menasional di bawah bendera 'palu arit'.
Muhammad Arif mencoba menggambarkan masa-masa sulit rakyat Indonesia di bawah jajahan Jepang dengan menciptakan karya yang diberi judul Genjer-Genjer. Bukan sebuah rahasia bahwa dalam penguasaan Jepang kehidupan masyarakat menjadi serba sulit. Konon tiga setengah tahun Jepang jauh lebih rusak ketimbang 350 tahun penguasaan Belanda.
Sadar akan kesulitan itu, istri Muhammad Arif memanfaatkan genjer (sejenis gulma di sawah) sebagai masakan pelengkap nasi. Kondisi tersebutlah yang menjadi ilham Muhammad Arif hingga lahirlah Lagu Genjer-Genjer.
Awalnya lagu Genjer-Genjer tak lebih dari lagu lokal yang dibawakan oleh Muhammad Arif beserta grup kesenian angklungnya keliling dari satu kampung ke kampung lain. Namun semenjak dinyanyikan ulang oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet pada tahun 60-an dan diperdengarkan secara nasional, lagu Genjer-Genjer menjadi populer. Tak sekedar populer, lagu tersebut juga menjadi alat propaganda PKI. Lagu Genjer-Genjer pun seolah terstempel dan menjadi identitas lain dari PKI.
Saling mengisi dan saling memberi pemaknaan antara Genjer-Genjer dan PKI, berdampak pada lagu ciptaan Muhammad Arif itu. Setelah PKI berhasil ditumpas, dikalahkan, bahkan dihabisi di bawah instruksi Soeharto, Lagu Genjer-Genjer pun menjadi barang haram. Haram untuk dinyanyikan dan haram untuk diperdengarkan.
Masa represi Orde Baru begitu kuat mengikis segala bentuk yang berkaitan dengan PKI, termasuk dengan lagu-lagunya. Pada perkembangan selanjutnya, baru pada era reformasi lagu Genjer-Genjer dinyanyikan dan diperdegarkan kembali oleh beberapa seniman. Bahkan, band Dengeu Fever dari Los Angles Amerika Serikat menyanyikannya lagi dengan menggunakan bahasa Khmer Kamboja. Tentunya, diperdegarkannya lagu tersebut kembali juga disertai keterangan-keterangan historis yang meluruskan lagu tersebut. Lagu yang diciptakan sebagai bentuk keprihatinan akan masa sulit dikala pendudukan Jepang.
KH. Ali Mansyur - Sholawat Badar
Masih dari Kota Banyuwangi, lagu tandingan Genjer-Genjer, Sholawat Badar pun lahir di kabupaten paling timur Pulau Jawa itu. Sholawat pun pada krisis 1965 itu tak ubahnya lagu. Meski sholawat itu sendiri dibuat dengan maksud sebagai pujian kepada Nabi Muhammad. Namun dalam berbagai kesempatan, sholawat kerap disandingkan dengan harmonisasi ritmik khas rebana, sehingga sah jika sholawat dimaknai sebagai lagu.
Sholawat Badar disusun oleh KH. Ali Mansyur (1921-1971), yang kala itu menjadi ketua tanfidziyah PCNU Kabupaten Banyuwangi. Dalam sebuah daftar pustaka diceritakan bahwa pada suatu malam Ali Mansyur bermimpi dengan orang-orang yang berpakaian putih dan hijau. Ternyata, sang istri di malam yang sama justru bermimpi berjumpa dengan Nab Muhammad.
Pasangan alim tersebut pun sepakat untuk mengkonfirmasi apa yang menjadi mimpi mereka ke hadapan Habib Hadi bin Abdullah Al-Hadar (salah seorang ulama kharismatik di Banyuwangi kala itu). Dari penjelasan Habib Hadi, bahwa orang-orang dalam mimpi Ali Masyur adalah para sahabat Nabi Muhammad yan ikut berperang dalam perang Badar. Perang yang terjadi pada tahun kedua hijriyah antara 300-an umat muslim melawan hampir seribuan orang kafir.
Keesokan harinya, Ali Mansyur terinspirasi atas mimpinya untuk mengarang Sholawat Al-Badriyah atau lebih dikenal dengan Sholawat Badar.cSelang beberapa hari, Ali Mansyur kedatangan serombongan habaib dari Jakarta di bawah pimpinan Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang Jakarta). Habib Ali bermaksud untuk mengundang Ali Mansyur membacakan sholawat yang baru saja dikarangnya di Jakarta.
Akhirnya, bersama sang paman, KH. Ahmad Qusyairi, Ali Mansyur memenuhi undangan tersebut. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1963 itu lah menjadi titik awal Sholawat Badar menasional dan menjadi lagu tandingan yang dibawakan oleh aktivis Nahdlatul Ulama beserta seluruh adan otonomnya.
Perlu diketahui, pada masa itu, persaingan PKI dan NU (yang kala itu juga menjadi partai politik), meliputi segala bidang, termasuk bidang keseniaan pula. PKI terkenal dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sedangkan di NU muncul Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi).
Maka tidak heran lagu Genjer-Genjer dan Sholawat Badar seakan menjadi dua mata tombak yang saling menikam.
Dewasa ini, di bawah Pemerintahan Joko Widodo tanda-tanda akan kebangkitan komunis oleh gen para keturunan PKI kala itu menunjukan gelagat dan eksistensinya. Padahal, persaingan Genjer-Genjer dan Sholawat Badar yang telah menjadi manifestasi persaingan PKI versus NU kala itu tidak perlu lagi dimunculkan. Adapun munculnya tulisan 'Sholawat Badar tandingi hegemoni Genjer-Genjer di era 65' kali ini adalah sebagai kisah manis atas buruknya gambaran kondisi saat itu.
Musik atau lagu asal putra terbaik Banyuwangi yang menasional dan menjadi amat diperhitungkan dan disegani saat itu adalah bentuk lain dari panasnya hasrat untuk menguasai. Mengingat saat ini lagu-lagu Banyuwangi makin populer, baik bagi warga Banyuwangi sendiri maupun warga kabupaten sekitar, menjadi bekal yang menarik untuk kembali menjadikan karya-karya seniman Banyuwangi berkibar dikancah nasional. Tragedi 1965 sebagai peringatan kejayaan gubahan seniman Banyuwangi.
references by harianterbit, jitunews