Quantcast
Channel: AGUNKz scrEaMO BLOG | {Agung YuLy Diyantoro}
Viewing all articles
Browse latest Browse all 2971

Asal Usul Tradisi Menyalakan Lilin

$
0
0
Tradisi menyalakan lilin berasal dari Perayaan Hanukkah (Festival Cahaya) orang Yahudi yang jatuh pada tanggal 19 Desember (25 Kislev penanggalan Ibrani) setiap tahunnya, pada Zaman Yesus

Hanukkah sendiri disebut Hari Pentahbisan Bait Allah dimana selama 8 hari orang Yahudi menyalakan lilin / pelita untuk memperingati keberhasilan merebut Bait Allah dari raja Antiokhus dari Siria dan mentahbiskannya kembali pada Tahun 165 M, menariknya, pada Hari Perayaan Hanukkah Yesus menyebut Diri-Nya Terang Dunia yang mensejajarkan dengan makna pelita yang dinyalakan untuk penerang selama perayaan Hanukkah. 300 tahun kemudian Gereja sendiri menetapkan Kelahiran Yesus di bulan Desember pada tanggal 25 yang berbarengan dengan perayaan Hanukkah Yahudi  dimana ada festival cahaya / penyalaan lilin selama 8 hari.

Festival Pentahbisan, disebut juga dengan Festival Kenisah (Hanukkah) atau Penahbisan Bait Allah dirayakan di Yerusalem pada tanggal 25 Kislew (sekitar bulan Desember) selama 8 hari. Perayaan ini dimaksudkan untuk memperingati penyucian kembali Bait Allah pada tanggal 25 Kislew 165 SM oleh kelompok Makabe setelah sebelumnya dinajiskan oleh Antiokhos IV Epiphanes 3 tahun sebelumnya (tepatnya tanggal 25 Kislew 168 SM).

Perayaan ini dirayakan bersamaan dengan masa Adven atau bahkan dengan hari raya Natal sehingga sering disebut secara keliru sebagai "Natal Yahudi". Pesta ini dirayakan sebagai peringatan Yudas Makabe yang menyucikan dan membangun kembali Kenisah yang sudah dirusak oleh orang-orang bukan-Yahudi, termasuk orang Yunani dari dinasti Antiokhus.

Dalam perayaan ini, umat Yahudi berarakan sambil membawa tongkat berhiaskan daun palem, lilin mempersembahkan kurban, dan bernyanyi bersama dengan iringan alat musik.


Penggunaan lilin diadopsi ajaran agama Kristen dimana Lilin yang dinyalakan menghasilkan terang sebagai Simboliis Kristus yang adalah Terang Dunia, Terang yang Ilahi dan yang sejati. Demikianlah Tradisi penyalaan lilin diadopsi oleh Umat Kristen dari Perayaan Hanukkah Yahudi sampai hari ini.


Orang-orang Yunani dan Romawi juga memiliki api suci dan lampu seremonial mereka. Di Yunani, Lampadedromia atau Lampadephoria (ras obor) berasal dari upacara Yunani, yang berhubungan dengan pengalihan api suci. Pausanias  menyebutkan lampu emas yang dibuat oleh Callimachus yang dibakar siang dan malam di tempat kudus Athena Polias di Acropolis, dan menceritakan tentang patung Hermes Agoraios, di pasar Pharae di Achaea, yang sebelumnya Lampu dinyalakan Di antara orang-orang Romawi menyalakan lilin dan lampu yang merupakan bagian dari kultus dewa-dewa pendamaian dalam negeri; Pada semua pintu festival diikat dan lampu dinyalakan. 




Di dalam lampu Cult of Isis dinyalakan disiang hari. Di kuil biasa ada candelabra, mis. Bahwa di kuil Apollo Palatinus di Roma, aslinya diambil oleh Alexander dari Thebes, yang berupa pohon dari dahan-dahan lampu yang digantung seperti buah. Lampu di kuil pagan tidak simbolis, tapi merupakan persembahan nazar kepada para dewa. Obor dan lampu juga dibawa dalam prosesi keagamaan.


Lamps for the dead

The pagan custom of burying lamps with the dead was to provide the dead with the means of obtaining light in the next world; the lamps were for the most part unlighted. It was of Asiatic origin, traces of it having been observed in Phoenicia and in the Punic colonies, but not in Egypt or Greece. In Europe it was confined to the countries under the domination of Rome.



 Easter

On Easter Eve new fire is made with a flint and steel, and blessed; from this three candles are lighted, the lumen Christi, and from these again the Paschal Candle. This is the symbol of the risen and victorious Christ, and burns at every solemn service until Ascension Day, when it is extinguished and removed after the reading of the Gospel at High Mass. This, of course, symbolizes the Ascension; but meanwhile the other lamps in the church have received their light from the Paschal Candle, and so symbolize throughout the year the continued presence of the light of Christ.


Baptism

At the consecration of the baptismal water the burning Paschal Candle is dipped into the font so that the power of the Holy Ghost may descend into it and make it an effective instrument of regeneration. This is the symbol of baptism as rebirth as children of Light. Lighted tapers are also placed in the hands of the newly baptized, or of their god-parents, with the admonition to preserve their baptism inviolate, so that they may go to meet the Lord when he comes to the wedding. Thus, too, as children of Light, candidates for ordination and novices about to take the vows carry lights. when they come before the bishop; and the same idea 17, CEo. underlies the custom of carrying lights at weddings, at the first communion, and by priests going to their first mass, though none of these are liturgically prescribed. Finally, lights are placed round the bodies of the dead and carried beside them to the grave, partly as symbols that they still live in the light of Christ, partly to frighten away the powers of darkness.


Asal Usul Adegan Meniup Lilin Ketika Perayaan Ulang Tahun

Islam tak mengenal perayaan ulang tahun, namun sebagian yang mengaku Muslim malah merayakannya, entah sudah dibiasakan orang tuanya semenjak kecil atau pengaruh lingkungan teman-temannya atau juga karena tak mau mempelajari lebih dalam Al-Quran 

Lilin yang ada pada kue ulang tahun adalah sebuah tradisi yang sudah berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Beberapa pihak mengklaim bahwa tradisi tersebut ada sejak zaman Yunani kuno. Sampai sekarang orang mengikutinya sebagai ritual yang wajib.

Menurut lansiran Boldsky, menyalakan lilin dalam sejarahnya adalah cara khusus di mana orang membayar upeti kepada dewi bulan Yunani, Artemis.

Dalam ritual tersebut awalnya kue yang dipakai haruslah berbentuk bulat untuk melambangkan bulan. Sementara lilin yang ditambahkan di bagian atasnya merupakan pemanis untuk menggambarkan sinar atau cahaya bulan.

Dulu, orang Yunani kuno mengatakan bahwa ketika berulang tahun dan menyalakan lilin kemudian meniupnya adalah untuk alasan keagamaan. Mereka mengibaratkan lilin juga sebagai 'cahaya kehidupan'. Zaman dulu, orang yang berulang tahun harus berdoa terlebih dulu sebelum meniup lilin. Diharapkan doa tersebut adalah doa yang paling diinginkan. Kemudian setelah lilin ditiup, asap yang mengambang diudara dipercaya akan mengantarkan doa-doa orang yang berulang tahun ke Dewi Bulan Yunani, Artemis.

Bahkan acara tiup lilin dulu tidak hanya dilakukan saat ulang tahun saja, namun saat orang-orang zaman dulu memiliki keinginan yang ingin dikabulkan. Itulah sejarah mengapa di saat ulang tahun ada ritual meniup lilin. 

LARANGAN AL-QURAN BAGI UMATNYA UNTUK MENIRU, MENGIKUTI,MENYERUPAI SEGALA TRADISI IBADAH AGAMA LAIN

Sikap meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :
Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam bersabda :

صحيح البخاري ٣١٩٧: حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Shahih Bukhari 3197: dari Abu Sa'id radliallahu 'anhu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam besabda: "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lobang biawak kalian pasti akan mengikutinya". Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?". Beliau menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka) ".

Sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح البخاري ٦٧٧٤: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ فَقَالَ وَمَنْ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ

Shahih Bukhari 6774: dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hari kiamat tidak akan terjadi hingga umatku meniru generasi-generasi sebelumnya, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta." Ditanyakan, "Wahai Rasulullah, seperti Persi dan Romawi?" Nabi menjawab: "Manusia mana lagi selain mereka itu?"
Tatkala seseorang mendeklarasikan diri sebagai seorang Muslim, wajib baginya masuk Islam secara totalitas. Islam harus diterima secara utuh. Tidak boleh ada bagian yang tinggalkan, diabai-kan, bahkan ditolak. Sebagaimana halnya tidak boleh memasukkan ide atau ajaran lain ke dalam Islam. Ketentuan tersebut termaktub dalam ayat di atas. Dalam ayat tersebut, kaum Muk-min diperintahkan masuk ke dalam Islam secara kâffah sekaligus tidak mengikuti langkah-langkah syetan.


   
Allah SWT berfirman: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [u]d-khulû fî al-silm kâffah (hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya). Khithâb atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin. Mereka diperintahkan untuk masuk ke dalam al-silmi secara kâffah.

Ibnu Jarir al-Thabari mengutip pendapat banyak mufassir terkemuka, seperti Ibnu 'Abbas, Mujahid, Qatadah, al-Sudi, Ibnu Zaid, dan al-Dhahhak yang memaknai al-silm dengan al-Islâm. Pendapat ini juga dikuatkan oleh al-Thabari dan al-Samarqandi. Dengan demikian, ayat ini dapat dimaknai sebagai perintah agar memasuki Islam secara kâffah.

Sebagaimana dikutip al-Thabari, ada yang memaknai kata al-silm di sini dengan al-musâlamah, yakni perdamaian, perundingan, meninggalkan perang, dan memberikan jizyah. Itu artinya, kaum Muslim diperintahkan mengadakan perdamaian secara total. 

Pengertian tersebut makin jelas jika dikaitkan dengan sabab al-nuzûl (sebab turunnya) ayat ini. Dikemukakan oleh 'Ikrimah bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok orang Mus-lim yang sebelumnya beragama Yahudi, seperti Abdullah bin Salam, Tsa'labah, Asad bin 'Ubaid, dll, yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk merayakan hari Sabtu dan mengamalkan Taurat di malam hari. 

Kemudian turunlah ayat ini yang memerintahkan mereka untuk mengamalkan syiar-syiar Islam dan meninggalkan selainnya. Namun Ibnu Katsir memberikan catatan, penyebutan Abdullah bin Salam perlu dicermati mengingat kesempurnaan imannya sehingga amat jauh jika dia menginginkan hal itu.

Setelah mereka diperintahkan masuk Islam secara keseluruhan, kemudian Allah SWT berfirman: walâ tattabi'û khuthuwât al-syaythân (dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan). Syetan adalah makhluk Allah SWT yang durhaka. Oleh karena itu, semua langkahnya mengundang murka Allah SWT. Jika Allah SWT memerintahkan manusia kepada kebaikan, syetan justru menyuruh berbuat dan keji (lihat al-Baqarah [2]: 169). Jika Allah SWT memerintahkan manusia mengucap-kan perkataan yang lebih baik, syetan justru menimbulkan perselisihan di antara manusia (lihat QS al-Isra' [17]: 53). Minum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, dan mengundi nasib dengan panah juga disebut sebagai perbuatan syetan. De-ngan khamr dan judi itu pula syetan menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara manusia (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Agar tujuannya berhasil, syetan menghiasi perbuatan buruk sehingga terlihat baik oleh pelakunya (lihat QS al-Taubah [9]: 37, al-Ra'd [13]: 33). Pendek kata, semua perbuatan tercela yang dibenci dan dimurkai Allah terkumpul pada diri syetan.

Dalam ayat ini, manusia dingatkan agar tidak mengikuti langkah-langkah syetan. Al-Syaukani mengatakan, frasa ini berarti: “Janganlah kalian menempuh jalan yang diserukan oleh syetan.” Sedangkan al-Samar-qandi, menafsirkan mengikuti langkah syetan berarti taat kepada syetan.      

Kemudian Allah SWT memberikan alasan larangan tersebut dengan firman-Nya: Innahu la-kum 'aduww mubîn (sesung-guhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu). Sebagai musuh, syetan tidak suka melihat manusia bahagia. Sebaliknya, dia sangat senang jika manusia sengsara dan menderita. Syetan tahu benar, kesengsaraan dan penderitaan tiada tara adalah masuk neraka. Oleh karena itu, syetan melakukan berbagai cara dan upaya untuk menyesatkan manusia dari jalan yang benar dan menjerumuskannya ke neraka. Allah SWT berfirman:  Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (TQS al-Baqarah [2]: 169).

Oleh karena menjadi musuh apalagi musuh yang benar-benar nyata, maka syetan harus diperlakukan sebagaimana layaknya musuh, bukan sebagai kawan, sahabat, pemimpin, atau pelindung. Allah SWT berfirman: Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala (TQS Fathir [35]: 6). Agar memperoleh kebahagiaan hakiki, manusia tidak mengikuti jalan syetan. Islam adalah satu-satunya jalan yang boleh diikuti.

Telah maklum, bahwa syariah Islam mencakup seluruh aspek kehidupan. Tak hanya mengatur urusan individu, seperti ibadah, makanan, pakaian, atau akhlak. Namun juga mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seperti sistem ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sanksi, politik luar negeri, dan lain-lain. 


Kaffah secara bahasa artinya keseluruhan. Makna secara bahasa tersebut bisa memberikan gambaran kepada kita mengenai makna dari Muslim yang Kaffah, yakni menjadi muslim yang tidak “setengah-setengah” atau menjadi muslim yang “sungguhan,” bukan “muslim-musliman.”

Muslim yang sungguhan (baca: kaffah) adalah Muslim yang mengamalkan ajaran-ajaran Islam di setiap aspek kehidupan. Seorang Muslim belum bisa disebut Muslim yang kaffah jika ia belum menjalankan ajaran Islam di segala aspek kehidupannya. Dengan demikian, Muslim yang kaffah tidak berhenti pada ucapan kalimat syahadat saja. Muslim yang kaffah tidak berhenti pada ritual-ritual keagamaan saja, tetapi sudah menjajaki substansi dari ritual-ritual tersebut.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 2971